masih tentang hujan ;
“Makasih banyak ya, Kak.” Dheva mengangguk, ngga lupa juga tersenyum. Lula liatnya deg – deg an banget. Gak bisa lama – lama, Lula langsung turun dari mobil Dheva —eh mobil Jeff. Tapi, ditahan lagi sama Dheva.
“Bentar, nama lo?” tanya Dheva. Lula kaget, jadi sebenernya dia gak tau namanya? Kok bisa – bisanya udah nganterin pulang.
“Lula, Kak. Tapi panggil uya juga boleh.”
Dheva menggeleng, “orang tua lo ngasih namanya Lula, ya berarti nama lo Lula. Gak baik ganti – ganti nama orang.”
Lula kaget lagi, beneran baru kali ini nemu orang kayak gini.
“Hehe iya deh, Kak.”
Gak mau lama – lama, Lula langsung turun dan masuk ke rumahnya. Lula lagi mode happy banget, sampai – sampai ga peduli tubuhnya kehujanan. Kecuali laporannya, masih sempet Lula selamatkan kebetulan.
Bahkan ada petir pun Lula tetap ga peduli. Dirinya masih sibuk bersenandung dan berterima kasih kepada hujan. Sampai akhirnya, Lula masuk ke rumahnya. Dilihatnya, rumah yang sudah tidak layak disebut rumah. Semuanya berantakan. Ada adiknya, Rara yang sedang menangis, dan mama papanya yang terlihat —berantakan.
“Darimana aja kamu? Kan mama suruh cepat pulang!” Lula selalu saja disambut teriakan mamanya.
“Macet ma, kan hujan ja—”
“Mau ikut Mama atau Papa? Rara ikut Papa.”
Nggak. Lula gak mau. Lula gak mau kayak gini, Lula gak mau apa yang dipikirannya ini benar.
“Iya, Mama Papa mau cerai. Kamu mau ikut siapa, Lula?”
Gak, Lula gak mau. Lula lari keluar dari rumah. Masih hujan, dan semakin deras. Lula masih membiarkan tubuhnya basah kuyup terguyur hujan. Bahkan sekarang laporannya ikut basah, dan Lula tidak peduli.
Sekarang, hujan menakutkan. Air hujan yang mengenai tubuh Lula terasa sakit, sakit sekali. Lula terus lari sampai akhirnya bertemu mobil Dheva —mobil Jeff. Disana masih ada Dheva. Lula udah gak kuat buat terus lari dibawah hujan yang menyakitkan ini.
Lula berhenti tepat didepan Dheva, tubuhnya sudah tidak sanggup untuk terus berdiri. Lula jatuh, air matanya terus mengalir tiada henti. Dheva menangkup tubuh Lula, memberi pelukan guna menenangkan. Lula tetap menangis dibawah pelukan Dheva, dengan air hujan yang terus menyakiti tubuh Lula.
“Kak, sakit.”
“Hujannya, sakit.”
Sejak saat itu, Lula sangat membenci hujan.