pinkypux

Juan yang awalnya sibuk dengan ponselnya, langsung tersenyum melihat yang ditunggu – tunggu sudah datang. Dengan senyum cerianya, Gaby menghampiri Juan yang sudah menyisakan tempat duduk kosong disebelahnya. Kebetulan sekali, kantin hari ini sangat sepi. Kesunyian ini menambah kegugupan Juan, sedangkan Gaby hanya terdiam menatap heran Juan. Menunggu apa yang akan Juan ucapkan kepadanya.

“Kenapa, Ju? Juan mau ngomong apa?” Gaby akhirnya memulai percakapan. Juan masih saja diam, ia malah merogoh sesuatu dari saku celananya. Ia mengambil earphone, lalu ia sambungkan earphone itu dengan ponselnya. Satu bagian ia pasangkan di telinganya, sedangkan yang satunya ia berikan kepada Gaby.

Lagu I love you dari Avril Lavigne terdengar. Jarak antara Juan dan Gaby yang semakin tipis, membuat jantungnya berdetak lebih cepat.

I like your smile, I like your vibe, I like your style But that's not why I love you And I, I like the way you're such a star But that's not why I love you

“Lirik lagu ini bagus banget ya, Gab,” ucap Juan. sedangkan Gaby hanya bisa mengangguk pelan.

Juan menolehkan wajahnya menghadap Gaby, “liriknya, sama banget. kayak perasaan gue ke lo, Gab.”

Gaby terdiam. Ia tahu Juan kini sedang melihat ke arahnya, namun Gaby tetap menghadap ke depan.

Masih belum ada yang bersuara. Keduanya masih sibuk dengan jantungnya masing – masing, sambil mendengarkan lagu bersama.

Hey, do you feel, do you feel me? Do you feel what I feel, too? Do you need, do you need me? Do you need me?

“Gab, kalau habis ini omongan gue agak terdengar cringe maaf ya,” kata – kata Juan membuat Gaby sedikit tertawa.

“Iya gue suka sama lo.

Dari awal gue liat lo, gue udah tertarik banget sama lo. Gue mulai deketin lo, ngobrol sama lo, gue suka sama lo. Sampai akhirnya gue mulai lebih kenal lo, liat sisi lain dari lo, gue jadi sayang sama lo, Gab.

Gue awalnya suka sama lo karena lo cantik. Tapi ternyata banyak hal dari lo, yang bikin gue lebih suka sama lo daripada itu. Banyak hal dari lo yang bikin lo punya definisi cantik itu sendiri. Cuma ada di lo, gak ada di orang lain.

Gaby.....

Kalau lo jadi pacar gue, mau?”

You're so beautiful But that's not why I love you I'm not sure you know That the reason I love you Is you being you, just you Yeah, the reason I love you Is all that we've been through And that's why I love you

Juan menatap Gaby, sedangkan yang ditatap hanya terdiam menunduk. Melihat itu membuat Juan ikut terdiam. Ia menjadi sangat gugup, takut mendengar jawaban yang akan diberikan Gaby.

“Gue juga,” Gaby membuka suaranya, walaupun masih dengan menundukkan kepalanya.

“Gue juga suka sama lo, Ju. Cara lo yang selalu inget kesukaan gue, cara lo nyemangatin gue, semua perhatian yang lo kasih buat gue, semuanya, gue suka semuanya.

Every time you say “btw gab”, I'm happy because it means our conversation not over yet, the way you always told me every time it rains, gue sadar, lo adalah orang yang juga selalu gue tunggu – tunggu.

So, my answer is,” Gaby terdiam sebentar. Ia menolehkan kepalanya menjadi menghadap Juan. Sambil tersenyum, ia menganggukkan kepalanya,

“mau.”

Gaby pun akhirnya turun dan masuk ke dalam mobil.

“Haiii,” Juan menyapa duluan. Gaby membalas dengan tatapan heran, “Lo ngapain beneran jemput gue?” tanyanya.

“Hujan,” kata Juan sambil menyalakan mobilnya dan membawanya keluar sekolah.

Gaby masih aja terdiam.

I Love You by Avril Lavigne played.

“My favorite song!!!” ucap Gaby antusias.

Tanpa sadar, Juan juga ikut senyum, “nice song.” Gaby mengangguk setuju.

“Indomaret dulu ya,” Juan langsung memarkirkan mobil didepan Indomaret bahkan sebelum Gaby menjawab.

“Ngapain?” tanya Gaby.

“Coffee.”

“Boleh nitip gak?” tanya Gaby lagi.

“Ga ikut aja?”

“Nitip aja deh, gue males.”

“Oke, nitip apa?”

“Ice cream.”

“Gab, kan hujan.”

I know, makanya pas.”

Juan menggelengkan kepala heran, “Oke tunggu bentar.”

Hanya butuh 10 menit, Juan sudah kembali dengan coffee dan ice cream ditangannya. Ia memberikan ice cream rasa strawberry kepada Gaby. Gaby menerimanya dengan antusias, entah apa yang membuatnya antusias dengan ice cream ditengah hujan yang sangat dingin ini.

Juan melihat Gaby yang antusias melahap ice cream-nya tanpa sadar ikut tersenyum.

Lucu, pikirnya.

juan's pov.

“Ju gue mau ke temen, mau ikut?”

Karena kebetulan gue gak tau mau ngapain juga, gue mengiyakan aja ajakan Sasy.

“Temen lo yang mana, Sy?”

“Gaby.”

Namanya ga asing.

“Anak angkatan lo, temennya mitha.”

Sambil jalan ke mejanya Gaby —temennya Sasy, gue sambil berusaha mengingat who is Gaby. Dan yang gue inget cuma....

...ga ada. I don't know her.

Sampai akhirnya someone is waving her hand to Sasy. And that girl is so pretty. Rambut panjangnya yang diikat rapih dengan buku tebal —oh wait itu buku fisika, ditangannya. So pretty. Bahkan kaus putih polos dipakai dia bisa cantik banget.

Kok bisa gue ga kenal orang secantik ini ya?

#How I Met Her

juan's pov.

“Ju gue mau ke temen, mau ikut?”

Karena kebetulan gue gak tau mau ngapain juga, gue mengiyakan aja ajakan Sasy.

“Temen lo yang mana, Sy?”

“Gaby.”

Namanya ga asing.

“Anak angkatan lo, temennya mitha.”

Sambil jalan ke mejanya Gaby —temennya Sasy, gue sambil berusaha mengingat who is Gaby. Dan yang gue inget cuma....

...ga ada. I don't know her.

Sampai akhirnya someone is waving her hand to Sasy. And that girl is so pretty. Rambut panjangnya yang diikat rapih dengan buku tebal —oh wait itu buku fisika, ditangannya. So pretty. Bahkan kaus putih polos dipakai dia bisa cantik banget.

Kok bisa gue ga kenal orang secantik ini ya?

“Makasih banyak ya, Kak.” Dheva mengangguk, ngga lupa juga tersenyum. Lula liatnya deg – deg an banget. Gak bisa lama – lama, Lula langsung turun dari mobil Dheva —eh mobil Jeff. Tapi, ditahan lagi sama Dheva.

“Bentar, nama lo?” tanya Dheva. Lula kaget, jadi sebenernya dia gak tau namanya? Kok bisa – bisanya udah nganterin pulang.

“Lula, Kak. Tapi panggil uya juga boleh.”

Dheva menggeleng, “orang tua lo ngasih namanya Lula, ya berarti nama lo Lula. Gak baik ganti – ganti nama orang.”

Lula kaget lagi, beneran baru kali ini nemu orang kayak gini.

“Hehe iya deh, Kak.”

Gak mau lama – lama, Lula langsung turun dan masuk ke rumahnya. Lula lagi mode happy banget, sampai – sampai ga peduli tubuhnya kehujanan. Kecuali laporannya, masih sempet Lula selamatkan kebetulan.

Bahkan ada petir pun Lula tetap ga peduli. Dirinya masih sibuk bersenandung dan berterima kasih kepada hujan. Sampai akhirnya, Lula masuk ke rumahnya. Dilihatnya, rumah yang sudah tidak layak disebut rumah. Semuanya berantakan. Ada adiknya, Rara yang sedang menangis, dan mama papanya yang terlihat —berantakan.

“Darimana aja kamu? Kan mama suruh cepat pulang!” Lula selalu saja disambut teriakan mamanya.

“Macet ma, kan hujan ja—”

“Mau ikut Mama atau Papa? Rara ikut Papa.”

Nggak. Lula gak mau. Lula gak mau kayak gini, Lula gak mau apa yang dipikirannya ini benar.

“Iya, Mama Papa mau cerai. Kamu mau ikut siapa, Lula?”

Gak, Lula gak mau. Lula lari keluar dari rumah. Masih hujan, dan semakin deras. Lula masih membiarkan tubuhnya basah kuyup terguyur hujan. Bahkan sekarang laporannya ikut basah, dan Lula tidak peduli.

Sekarang, hujan menakutkan. Air hujan yang mengenai tubuh Lula terasa sakit, sakit sekali. Lula terus lari sampai akhirnya bertemu mobil Dheva —mobil Jeff. Disana masih ada Dheva. Lula udah gak kuat buat terus lari dibawah hujan yang menyakitkan ini.

Lula berhenti tepat didepan Dheva, tubuhnya sudah tidak sanggup untuk terus berdiri. Lula jatuh, air matanya terus mengalir tiada henti. Dheva menangkup tubuh Lula, memberi pelukan guna menenangkan. Lula tetap menangis dibawah pelukan Dheva, dengan air hujan yang terus menyakiti tubuh Lula.

“Kak, sakit.”

“Hujannya, sakit.”

Sejak saat itu, Lula sangat membenci hujan.

Sore itu, Lula lagi nongski nongski sama temen – temennya. Lengkap, berlima. Tempat nongskinya emang gak begitu jauh dari sekolah. Jadi, ditempat itu isinya ya murid – murid sekolah itu juga.

HP Lula bunyi terus, siapa lagi kalau bukan mama yang telfon. Emang selalu gini, Lula pulang jam 5 aja udah 20 missed calls dari mamanya, padahal sekolahnya juga baru bubar jam 4.

Mau ga mau, Lula angkat telfon dari mamanya. Gimanapun juga, Lula bukan anak durhaka.

“kenapa ma?”

“pulang sekarang cepet”

“bentar dulu maaa, aku lag—” belum selesai Lula jawab, telfonnya udah dimatikan sepihak sama mamanya.

“pulang, Ya?” tanya Ara, salah satu teman baik Lula.

“iya nih, biasa mama”.

“baru bentar banget padahal, Ya.” timpal Kila, teman baik Lula yang lainnya.

“gapapa deh gua balik duluan ya? daripada disemprot mama lagi.”

Sebenernya, Lula gapapa kalau memang harus pulang sekarang. Tapi ini hujan, kalau pulang pakai ojek online, buku – buku Lula bakal basah. Kalau pesen taxi online, duitnya gak ada. Akhirnya Lula cuma diem aja didepan kayak orang bodoh, gatau mau ngapain. Sampai tiba – tiba ada suara yang Lula sangat hafal.

“Anak 65 kan?”

Lula nengok, dan dugaannya benar.

Itu kak dheva. Lula kenal, sangat kenal. Kenapa? karena Lula suka.

“Iya kak.”

“Mau pulang?” tanya Dheva. Lula ngangguk.

“Mau bareng?” tanya Dheva lagi. Lula hampir ngangguk, tapi nggak jadi. Lula kaget, ini beneran Kak Dheva ngajak pulang bareng?

“Gua bawa mobil. Mobil Jeff sih, ya tapi gua yang bawa jadi tetep aja gua bawa mobil. Nanti lo nangis kalau laporan lo kebasahan, makanya bareng gua aja ayo.”

Lula masih mode kaget. Ya kaget banget tiba – tiba seorang Dheva Ramadhan ngajak Lula pulang bareng. Tapi selain kaget, Lula juga seneng. Sekadar bisa ngobrol 5 detik sama Dheva juga Lula seneng.

Saat itu, Lula bersyukur ada hujan. Lula berterima kasih kepada Tuhan, karena sudah menurunkan hujan. Bahkan Lula berdoa kepada Tuhan agar sering – sering diturunkan hujan.

Tanpa tahu, sesuatu yang buruk itu akan datang, saat hujan.

—flashback—

Sore itu, Lula lagi nongski nongski sama temen – temennya. Lengkap, berlima. Tempat nongskinya emang gak begitu jauh dari sekolah. Jadi, ditempat itu isinya ya murid – murid sekolah itu juga.

HP Lula bunyi terus, siapa lagi kalau bukan mama yang telfon. Emang selalu gini, Lula pulang jam 5 aja udah 20 missed calls dari mamanya, padahal sekolahnya juga baru bubar jam 4.

Mau ga mau, Lula angkat telfon dari mamanya. Gimanapun juga, Lula bukan anak durhaka.

“kenapa ma?”

“pulang sekarang cepet”

“bentar dulu maaa, aku lag—” belum selesai Lula jawab, telfonnya udah dimatikan sepihak sama mamanya.

“pulang, Ya?” tanya Ara, salah satu teman baik Lula.

“iya nih, biasa mama”.

“baru bentar banget padahal, Ya.” timpal Kila, teman baik Lula yang lainnya.

“gapapa deh gua balik duluan ya? daripada disemprot mama lagi.”

Sebenernya, Lula gapapa kalau memang harus pulang sekarang. Tapi ini hujan, kalau pulang pakai ojek online, buku – buku Lula bakal basah. Kalau pesen taxi online, duitnya gak ada. Akhirnya Lula cuma diem aja didepan kayak orang bodoh, gatau mau ngapain. Sampai tiba – tiba ada suara yang Lula sangat hafal.

“Anak 65 kan?”

Lula nengok, dan dugaannya benar.

Itu kak dheva. Lula kenal, sangat kenal. Kenapa? karena Lula suka.

“Iya kak.”

“Mau pulang?” tanya Dheva. Lula ngangguk.

“Mau bareng?” tanya Dheva lagi. Lula hampir ngangguk, tapi nggak jadi. Lula kaget, ini beneran Kak Dheva ngajak pulang bareng?

“Gua bawa mobil. Mobil Jeff sih, ya tapi gua yang bawa jadi tetep aja gua bawa mobil. Nanti lo nangis kalau laporan lo kebasahan, makanya bareng gua aja ayo.”

Lula masih mode kaget. Ya kaget banget tiba – tiba seorang Dheva Ramadhan ngajak Lula pulang bareng. Tapi selain kaget, Lula juga seneng. Sekadar bisa ngobrol 5 detik sama Dheva juga Lula seneng.

Saat itu, Lula bersyukur ada hujan. Lula berterima kasih kepada Tuhan, karena sudah menurunkan hujan. Bahkan Lula berdoa kepada Tuhan agar sering – sering diturunkan hujan.

Tanpa tahu, sesuatu yang buruk itu akan datang, saat hujan.